Tim Gugus Tugas Covid-19 dalam Catatan Pengacara
Penulis : Sarman Riadi Sapsuha, SH. (Pengacara di Kota Ternate) |
P |
enyebaran virus Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) membuat sebagian besar masyarakat Indonesia harus
beraktivitas di dalam rumah. Tujuannya untuk memutus
rantai penyebaran.
Akses yang semakin terbatas, ditambah dengan informasi rekam medis bagi pasien
terkonfirmasi positifyang kurang transparansi, tak sedikit masyarakat dan pasien positif
mengeluarkan keresahan. Salah satunya
seperti video pasien positif yang menanyakan hasil swab test.Dan terbaru, para pedagang di Pasar Higienies meluapkan amarahnya karena
ada penutupan akses masuk dalam pasar.
Penanganan terhadap pasien atau masyarakat
yang di duga tertular covid-19, tenaga kesehatan dituntut berkompeten
dan menjunjung tinggi Kode Etik
Kedokteran (KEK). Begitu pula penyematan status orang tanpa
gejala (ODP), pasien dalam pemantauan (PDP), orang tanpa gejala (OTG) dan atau
orang dinyatakan yang positif covid-19 berdasarkan hasil
pemeriksaan. Semua ini dilakukan bertujuan memutus mata rantai penyebaran virus covid-19, khusunya di Maluku Utara.
Beredarnya video pasien positif
di ruang isolasi
RSUD Chasan Basoeri Ternate seolah mengingatkan kita pentingnya transparansi.
Boleh juga dibilang ikhtiar akan penyematan stigma buruk setelah mereka pulang
dan beraktifitas seperti sediakala. Pihak dokter ataupun rumah sakit malah
tidak
dapat menjelaskan atau menunjukan hasil swab
test dan rekam medis kepada pasien.
Hemat penulis, merupakan tindakan yang tidak transpransi
terhadap pasien atau keluarga pasien yang nanti akan menimbulkan masalah hukum
sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak
Asasi Manusia. Amanat pasal ini menyebutkan “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.
Pasien telah dinyatakan posif terpapar virus covid-19
kepada masyarakat, sehingga masyarakat harus tau apa itu rekam medis?
Dan siapa yang berhak atas rekam medis tersebut.?
Tujuannya agar tidak memunculkan pertanyaan di pasien, keluarga pasien dan
masyarakat secara luas.
Rekam
medis dari aspek hukum suatu berkas rekam medis yang
mempuyai nilai hokum, karena isinya menyangkut masalah adanya
jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam usaha menegakkan hukum serta
menyediakan bukti hukum untuk menegakkan keadilan.
Keseluruhan
pembahasan rekam medis dalam tulisan ini, penulis merujuk pada literatur buku “Medical Record and Informed Consent
Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Pembuktian” yang ditulis oleh Dr.Hasrul
Buamona,SH,. MH, salah satu
pakar hukum kesehatan di Indonesia.Rekam Medis,
merupakan istilah yang resmi. Sumber istilah Medical Record dahulu digunakan istilah patiente status (status pasien). Rekam medis apabila dihubungkan
dengan pemilik isi Rekam Medis tersebut yaitu pasien, pasien-pasien tersebut
berhak berhak penuh untuk mengetahui apa saja yang ditulis oleh dokter mengenai
penyakitnya.
Pengertian
rekam medis sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis,
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada pasien. Defenisi rekam medis menurut Sofwan Dahlan adalah untuk
mendokumentasikan semua kejadian yang berkaitan dengan kesehatan pasien bagi
kepentingan perawatan penyakitnya sekarang ataupun yang akan datang.
Pasal
13 ayat (1) PEERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008 pemanfaat rekam medis dapat
dipakai sebagai; (a). Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
(b). Alat
bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran, dan kedokteran gigi
dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;
(c). Keperluan
penelitian dan pendidikan; (d). Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, dan
(e). Data
statistic kesehatan.
Pengatuaran
mengenai rekam medis juga di atur dalam
Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Pasal 46
menyebutkan; (1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib membuat rekam medis; (2). Rekam medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan; (3).Setiap
catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal
47; (1).Dokumen
rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter
gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan
milik pasien; (2). Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya
oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan;
(3). Ketentuan
mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Sedangkan dalam Pasal 52, pasien, dalam
menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak;
(a). mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);(b).meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;(c).mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;(d).menolak tindakan medis; dan(e).mendapatkan isi rekam medis.
Namun rumah sakit juga
memiliki kewajiban yang berkaitan dengan rekam medis sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf
h Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit (UU
Rumah Sakit).
Menurut
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagaimana yang termuat dalam literatur Hasrul
Buamona dijelaskan,
praktik profesi dokter harus melaksanakan rekam medis, baik dokter
yang bekerja di rumah sakit maupun berpraktik secara pribadi. Pernyataan IDI
tentang rekam medis termuat dalam lampiran SK PB IDI No.315/PB/A.4/88 pada
angka 6 menyatakan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas
pelayanan professional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locum tennens, untuk kepentingan dokter
pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta
karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Sangat
disayangkan jika pasien yang telah diumumkan positif terjangkit virus covid-19
dan telah diketahui khalayak umum, namum pasien atau keluarganya tidak mendapat
atau mengetahui rekam medis dari dokter
tentang apakah benar pasien tersebut benar terjangkit
virus covid-19, sehingga pasien atau keluarga wajib mendapatkan suatu kepastian
hukum dari sakit yang di deritanya.
Tindakan
Tim Gugus Covid-19 ini, sangat merugikan pasien dan
keluarganya. Sehingga harus ada evaluasi oleh Ketua Tim Gugus Covid-19
yaitu Walikota Ternate dan di jalankan sesuai dengan undang-undang, sehingga
tidak ada yang di rugikan atau berdampak pada hukum baik pidana maupun perdata. Maka
dari itu penulis sebagai advokat, yang adalah penegak hukum dalam kesempatan
ini membuka pintu untuk menerima pengaduan dari masyarakat. (*)
*) Kolom
opini menjadi tanggungjawab
penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi brindonews.com.