Polemik Beasiswa ‘Bodong’

![]() |
ZULAFIF SENEN, S.H., M.H. |
Penulis adalah Akademisi Hukum dan Pengurus Dewan Pimpinan
Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN-PERMAHI).
Makin
berkembangnya suatu zaman, maka makin berkembang juga suatu kejahatan itu
sendiri”. (Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy, S.H)
No Perfect Crimememiliki arti bahwa
tidak ada kejahatan yang sempurna. Merupakan suatu adagium hukum yang populer
dalam dunia hukum. Berbicara mengenai kejahatan, bisa terjadi dimana saja dan
kepada siapa saja bisa terkena daripada jeratan kejahatan yang dilakukan oleh
oknum yang tidak bertanggungjawab.
Pada sudut pandang ini,
penulis mencoba mengulas kasus beasiswa ‘bodong’ yang sementara diadvokasi. Bagi
penulis, kasus ini perlu mendapatkan atensi publik, khususnya Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dugaan beasiswa ‘bodong’ ini terjadi di salah satu
perguruan tinggi swasta (PTS) di Jakarta.
Sayangnya,
pihak pemberi bantuan tidak mengikuti pedoman sesuai arah penyaluran beasiswa
pada peraturan dimaksud. Sering terjadi perbedaan pelaksaan dalam praktik
beasiswa KIP, dan kerap kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu guna meraup
pundi-pundi rupiah dengan cara yang tidak semestinya.
Bahkan
ditemukan dalam praktik ditemukan hal-hal bertentangan sebagaimana dijelaskan Pasal
1 ayat 3 Peraturan
Sekretaris Jenderal Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor
10 tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan KIP: Program Kartu Indonesia
Pintar Kuliah yang selanjutnya disingkat Program KIP Kuliah adalah skema
bantuan PIP Pendidikan Tinggi yang diberikan kepada Mahasiswa yang berasal dari
keluarga miskin atau rentan miskin dan memiliki KIP Kuliah.
Pasal 1
ayat 4 juga demikian. Program Bantuan Uang Kuliah Tunggal atau Sumbangan
Pembinaan Pendidikan Mahasiswa yang selanjutnya disebut Program Bantuan UKT/SPP
adalah skema bantuan PIP Pendidikan Tinggi berupa bantuan yang diberikan kepada
mahasiswa aktif untuk pembiayaan uang kuliah tunggal atau sumbangan pembinaan
pendidikan mahasiswa.
Juga
bertentangan dengan Pasal 2 tentang prinsip yang dijelaskan dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kementrian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 10 tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program
KIP. Ada enam prinsip di dalamnya: efisien, efektif, transparan, akuntabel,
kepatutan, dan manfaat.
Kaitannya
dengan kasus beasiswa ‘bodong’ ini, bila dicermati, keenam prinsip tersebut boleh
dibilang belum terpenuhi. Sebab, pihak pemberi masih memanfaat untuk meraup
keuntungan. Sebagian penerima bahkan memlih pulang kampung dan tidak
melanjutkan kuliah. Itu artinya, prinsip manfaat, efisien, dan efektif tidak
kesampaian. Bukan cuma itu. Setiap penerima bahkan dipatok jutaan rupiah sebagai uang tanda
terimakasih. Apakah ini namanya kepatutan?.
Polemik
dan Minimnya Pengawasan
Polemik kejahatan
pada dunia pendidikan bukan barang baru. Penyaluran beasiswa kerap salah
sasaran kerap terjadi. Minimnya pengawasan masih menjadi penyebab utama.
Segelintir oknum kadang memanfaat celah ini_sekalipun mereka tahu berdampak
hukum bagi mereka.
Secara aturan sudah dijelaskan secara komprehensif apa
itu program beasiswa KIP. Dalam pedoman pendaftaran KIP Kuliah Merdeka 2022
yang diterbitkan Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (puslapdik) sangat jelas. Yaitu
pembebasan biaya seleksi masuk perguruan tinggi, pembebasan biaya kuliah
pendidikan, dan bantuan biaya hidup.
Kenyataannya berbailk. Faktanya, segelintir oknum
justru memanfaatkan kepolosan penerima beasiswa dengan dalil uang pengamanan
kuota, uang pendidikan, bahkan ada yang secara terang-terangan meminta uang
terimahkasih. Padahal, praktik-praktik jahat semacam ini tidak ada sama sekali ditemukan
dalam aturan maupun, termasuk pedoman pendaftaran KIP Kuliah Merdeka 2022 oleh Puslapdik.
Segelintir oknum pemerintah ini sudah sepantasnya
dievaluasi oleh Kemendikbud selaku lembaga yang mewadahi pendidikan. Perlu pula
pengawasan ketat supaya fenomena pelecehan dunia pendidikan dalam konteks
beasiswa ‘bodong’ tidak terulang. Kita perlu belajar dari kasus ini.
Jika tidak, beasiswa yang tadinya membawa secercah
harapan bagi orang kurang mampu meraih pendidikan, menjelma menjadi cekikan
mematikan. Pasal 31 ayat (1) sangat tegas bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Kemudian Pasal 31 ayat (4) berbunyi: Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Mandat konstitusi ini perlu ditegakkan. Negara memberikan
jaminan atas hak mendapatkan pendidikan bagi seluruh warganya, tanpa
terkecuali. Ketika negara abai memberikan jaminan pendidikan bagi warga negaranya,
sama halnya negara melanggar perintah konstitusi. Rakyat wajib menuntut
pertanggungjawaban apabila negara mengabaikan jaminan pendidikan.
Prinsipnya, penyaluran beasiswa harus tepat sasaran dan
calon penerimanya layak mendapatkan. Setidaknya ini sesuai bunyi Pasal 1 ayat 3:
“Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah yang selanjutnya disingkat Program KIP
Kuliah adalah skema bantuan PIP Pendidikan Tinggi yang diberikan kepada mahasiswa
yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin dan memiliki KIP Kuliah”.
Poin penting adalah enam prinsip program Indonesia Pintar
sebagaimana mandat Pasal 2 Peraturan Sekretaris
Jenderal Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 10 tahun
2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program KIP, yaitu efesien.
Jerat Hukum Pelaku
Lex nemini operatur
iniquum, neminini facit injuriam-hukum tidak
memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada
siapa pun.
Berbicara mengenai penegakkan hukum terhadap pelaku,
tentu tidak terlepas daripada asas umum di dalam hukum pidana yakni Ultimum
Remidium: yang memiliki arti hukum pidana sebagai obat terahir di dalam
penegakkan hukum yang mana saksi yang ditimbulkan daripada hukum pidana adalah
saksi badan berupa pemidanaan.
Lantas sanksi hukum apa yang perlu diberikan
terhadap pelaku yang menafaatkan beasiswa untuk mendapatkan keuntungan
pribadi?.
Jika ditinjau permasalahan hukum, oknum yang
memanfaatkan kesempatan mendapatkan keuntungan pribadi dari beasiswa yang
ditawarkan dapat diberikan sanksi hukum baik pidana maupun perdata.
Pasal 378 KUHPmengatur tentang tindak pidana penipuan dalam arti luas
(bedrog). “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”.
Pasal 423 KUHP
“Pegawai negeri yang dengan maksud tertentu menguntungkan diri sendiri
maupun orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan yang ia
miliki untuk memaksa orang lain menyerahkan sesuatu melakukan suatu pembayaran,
melakukan pemotongan pada suatu pembayaran ataupun melakukan suatu pekerjaan
untuk pribadi sendiri, juga dipidana dengan pidana penjara paling lama enam
tahun”.
Pasal 28 ayat (1) Jo Pasal 45A ayat (1) UU 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)”.
Pasal 1365 KUH Perdata
“Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. (*)