Brindonews.com
Beranda News Maluku Utara Pokja II dan PPK Disebut Jadi Biang Kerok Lambatnya Jalan Obi

Pokja II dan PPK Disebut Jadi Biang Kerok Lambatnya Jalan Obi

Progres pekerjaan jembatan II (Jembatan Wayamatu) pada ruas jalan jembatan Laiwui-Jikotamo-Anggai. Foto ini diambil saat Komisi III DPRD Maluku Utara meninjau progres pekerjaan pada awal Agustus 2023 kemarin.

SOFIFI, BRN – Janji PT. Addis Pratama Persada mengebut pekerjaan jalan dan jembatan ruas Laiwui-Jikotamo-Anggai di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, ternyata cuma pemanis telinga.

Pasalnya, hingga per 2 November 2023, proyek senilai Rp 27.720.421.000 yang melekat di Dinas PUPR Maluku Utara ini progresnya baru 25 persen.





Bahkan, perusahaan konstruksi kepunyaan Adam Marsaoly itu tidak lagi bekerja semenjak Komisi III DPRD Maluku Utara turun meninjau pada Agustus lalu.

Informasi yang dihimpun brindonews, kemajuan 25 persen ini tidak terhitung dengan hotmix sepanjang lima kilometer.

Komisi III DPRD Maluku Utara pun ragu pekerjaan ini bisa diselesaikan tepat waktu. Komisi yang diketuai Rusihan Jafar ini tak begitu percaya terhadap penjelasan PT. Addis Pratama Persada.





Ketua Komisi III DPRD Maluku Utara, Rusihan Jafar menerangkan, letak kesalahan keterlambatan pekerjaan jalan dan jembatan ruas Laiwui-Jiiotamo-Anggai berada pada kelompok kerja (pokja) II BPBJ yang diketuai Arafat Alaba yang sudah memenangkan PT. Addis Pratama Persada.

“Padahal mereka tidak punya peralatan berupa asphalt mixing plant (AMP). Pokja II harus bertanggung jawab, sebab dalam dokumen tender secara jelas dilampirkan dengan surat jaminan kelengkapan alat dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, mulai  penandatanganan kontrak hingga MC nol sampai saat sekarang kontraktor tidak memiliki alat di lapangan,” tandasnya.

“Itu berarti, kita kesimpulan bahwa pokja telah memenangkan kontraktor yang tidak memiliki alat sebagaiman surat jaminan yang telah dimasukkan pada proses lelang,” tambah politisi Perindo ini.





Menurut Rusihan, agar proyek tersebut selesai 100 persen, komisinya memberi kesempatan kepada rekanan untuk mengebut pekerjaan di sisa waktu kurang lebih sebulan ke depan atau atau terhitung 21 hari.

“Kita kasih waktu 10 hari ke depan untuk MoU dengan kontraktor yang memiliki alat AMP di Obi. Kalau AMP sudah ada pasti hotmix yang lima kilometer meter itu dipastikan selesai diaspal. Tinggal kontraktor punya keseriusan memberikan orang yang memiliki AMP di loksai atau tidak. Kalau tidak ditindaklanjuti kita minta ke PPK dinas PUPR untuk Show Cause Meeting (SCM) III serta mengambil langkah lainnya sesuai perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.

Praktisi hukum Agus Salim R. Tampilang ketika dimintai tanggapan perihal masalah ini mengatakan, apabila rekanan tidak punya itikad baik menyelesaikan pekerjaan dimaksud seharusnya dilakukan pemutusan kontrak. Ia yakin betul di sisa waktu kurang dari bulan ini pekerjaan dipastikan tidak selesai.





“Dengan begitu, perusahaan bersangkutan harus mengembalikan uang muka yang sudah digunakan. Jika tidak, maka penyidik dalam hal ini polda maupun kejaksaan tinggi harus ambil langkah untuk melakukan pemeriksaan karena setiap pencarian uang muka disertai dengan jaminannya,” jelasnya.

Agus menyatakan, apabila sampai berakhirnya batas kalender pekerjaan dan pekerjaan tak kunjung juga tuntas, maka sudah pasti akan mengarah ke perbuatan melawan hukum. Bila ditarik kebelakang, Pokja II tidak profesional dalam mekanisme tender dengan memenangkan perusahan yang tidak memiliki alat.

“Dari proses tender saja kita lihat pokja tidak profesional. Mereka mengeluarkan keriteria-keriteria perusahaan yang harus menjadi pemenang, ternyata itu tidak terpenuhi tapi bisa memenangkan. Inikan lucu. Berarti kemungkinan pokja juga ikut main,” ujarnya.





Selain Ketua Pokja II Arafat Alaba, pihak lainya yang perlu dimintai pertanggungjawaban ialah PPK sebelumnya, Sofyan Kamarullah.

“Kenapa, karena yang bersangkutan menyampaikan data progres tidak sesuai data lapangan. Pengakuannya sudah 41 persen, tapi ketika komisi turun tinjau ternyata baru 17 persen. Tentu apa yang disampaikan ke publik tidak sesuai di lapangan alias bicara bohong.”

“Pertanyaan berikutnya adalah kenapa perusahaan yang tidak layak harus dimenangkan. Pokja dan PPK harus diminta pertanggungjawaban hukum karena patut diduga perbuatan ini berantai atau satu mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Maka dari itu, pihak-pihak yang dianggap terlibat harus dimintai pertanggungawaban hukum agar mendapatkan efek jerah,” tandasnya. **





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Iklan