Kenapa Bukan Perempuan Sagea
(dok. Qoji Vhir) |
Eko Brekele | Jurnalis Media
Brindo Grup.
Saya dan Nurkholis
Lamaau berbincang singkat. Sedikit berbisik. Sesekali tangan kami memperagakan.
“Padahal Eric Weiner ini seorang kontributor”, kataku pada Nurkholis. “Betul.
Hebat dia”, jawab redaktur cermat.co.id, patnert resmi kumparan itu.
Nurkholismengatakan kekhawatiran “ketika pohon
terakhir telah ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan
terakhir telah ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa uang tidak bisa
di makan” dari Eric Weiner mestinya gencar dikampanyekan oleh pemerintah,
terutama Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Gubernur Maluku Utara harus menjadi
pemeran utama. Andil tiap-tiap kepala daerah kita memiliki daya gedor yang
sangat kuat bagi tuan-tuan di pusat.
“Saya sepakat. Eric mengonfirmasi kepada
kita bahwa perusahaan tambang bukan juru selamat. Keterlibatan pemerintah perlu
dan sangat penting”, sahutku membalas.
Nurkholis tiba-tiba
mengarahkan pandangan ke arah podium. Saya menyusulnya, menoleh ke arah yang
sama. Saling tukar pikiran kami yang tadinya mengalir akhirnya terusik oleh
Herman Oesman, Ketua tim juri Lomba Menulis Esai dan Opini Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan Maluku Utara. Diskusi kecil pun putus. Fokus kami tak terpusat,
terbagi antara menyimak dan melanjutkan.
“Kenapa judulnya
tidak Perempuan Sagea”, kata Herman Oesman ketika mengoreksi opini Sandi Alim, mahasiswa
sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara saat presentasi karya finalis
Lomba Menulis Esai dan Opini di ruang rapat Hotel Grand Tabona, Sabtu 29,
Oktober 2022. Sandi Alim adalah salah satu peserta dalam lomba ini.
“Amazing”,
saya merespon pelan. Sama seperti Nurkholis, “Saran judul yang luar biasa
bagus. Singkat dan padat”.
Pembobotan tulisan ini mengingatkan kita pada sosok
Chico Mendes, Sang Environmentalist. Francisco Alves Mendes Filho atau biasa
disapa Chico Mendes lahir di Xapuri, Brazil, 15 Desember 1944. Merupakan
penduduk pedalaman belantara Amazon yang getol mengempanyekan pelestarian hutan
Amazon.
Keharmonisan hubungan masayarakat tempatan dan alam itu akhirnya
terusik oleh kedatangan perusahaan peternakan (ranch). Di tempat tinggal Mendes, peternakan Fazenda Parana milik
Darly Alves da Silva menjadi pemain kunci perusak keharmonisan masyarakat dan
hutan (historia.id, 31 Juli 2019).
Perempuan Sagea yang dimaksud Herman Oesman adalah Mama Ama,
yang menolak kehadiran pertambangan di Desa Sagea-Kiya dan menentang aktivitas
pertambangan di desanya. Menurut Bang Her, sapaan akrab Herman Oseman, judul
“Perempuan Sagea” lebih menegasi perjuangan Mama Ama yang tidak mau
keharmonisan manusia dan alam di sekitar Boki Manuru tercerai berai. Juga
mewakili atau melandasi semangat gerakan penyelamatan ekologi di Sagea. Bang
Her menilai, judul “Sagea dan Masa Depan Ekologi” yang diulas Sandi Alim belum
sepenuhnya menggambarkan gerakan penyelamatan.
Sagea memiliki luas wilayah 56,42 km atau 12,05 persen dari
luas Kecamatan Weda Utara 468,01 km atau sekitar 20,56 persen dari luas
Kabupaten Halmahera Tengah 8.381,48 km. Sedangkan Kiya tercatat 86,48 km, atau
sekitar 18,48 persen dari luas wilayah Kecamatan Weda Utara. Sagea tercatat
dengan jumlah penduduk 1.593 jiwa, terbanyak kedua setelah Gemaf dengan 1.924
jiwa. Kiya menyusul di posisi keempat dengan jumlah 1.118 jiwa (data Kecamatan
Weda Utara Dalam Angka 2022 BPS Halmahera Tengah).
Jarum
jam terus berputar. Waktu sudah mulai sore. Saya, Nurkholis, dan teman-teman
finalis lain masih menganga menyimak koreksi dan pembobotan dari Bang Her.
Sandi Alim yang berada di atas podium pun sama. Mencatat setiap saran dan
koreksi dari masing-masing juri. Suasana ruang rapat gedung komersil yang
berlamat di Jalan Makugawene Nomor 05, Kelurahan Tabona, Kecamatan Ternate
Selatan ini tegang.
Tak
satu pun finalis bersuara, kecuali pemandu acara, itupun kalau sudah tiba
waktunya. Saya masih membayangkan saran judul “Perempuan Sagea”. Andai Sandi
menggunakan judul ini, mungkin saja Aida Radar, Subhan Hi. Ali Dodego, Sarfan
Tidore dan saya tidak akan menyabet juara. Salah satu dari kami pasti
tersingkir.
Jika
direnungkan, aksi menolak kehadiran oligarki di Sagea-Kiya oleh Mama Ama tentu
punya alasan, yaitu mengajarkan kepada kita bahwa alam harus dijaga. Wajar Mama
Ama was-was, sebab ia tidak mau hutan rimbun nan hijau di sekitar Boki Manuru “dirampas”
oleh PT FPM (First Pasific Mining). Mama Ama tidak mau hutan di desanya yang masih lestari itu
bakal gundul dan bernasib sama ketika oligarki menancap kuku tambang di Lelilef
Waibulen dan Lelilef Sawai.
Mama
Ama tidak percaya istilah yang kerap diyakini: “daerah kaya sumberdaya alam
akan menyumbang manfaat lebih bagi masyarakatnya”. Wanita penantang perusak
lingkungan sejak 2014 ini sadar betul bahwa pameo yang dibilang
Herman Oesman dalam tulisannya: “Halmahera, Rantai Produksi Global dan
Prekaritas” ini tidak selamanya berpihak.
Masalah Halmahera Tengah
semenjak perusahaan tambang beroperasi di sana seperti lubang
menganga. Problem kabupaten dengan koleksi tingkat kemiskinan kedua tertinggi
di Maluku Utara (data BPS Maluku Utara) itu sampai hari ini belum tertutup
dengan baik. Badai kecelakan kerja yang menyebabkan meninggal dunia masih
dijumpa.
Ikram Sangaji
selaku pelaksana Bupati Halmahera Tengah perlu ambil langkah. Bukan cuma ‘negosiasi’ profit daerah
penghasil, tapi lebih dari itu. Paling tidak, putra Maluku Utara yang berkarir
di pusat ini bertemu jejaringnya di ibu kota untuk membahas ulang kewenangan
pemerintah daerah. Dengan begitu, ruang gerak para kapitalis yang berlindung di
balik “ketiak” kekuasaan itu tidak lagi semena-mena.
Jika ini
dilakukan, saya percaya, bukan hanya Mama Ama, masyarakat Halmahera Tengah,
umumnya Maluku Utara
pasti mendoakan setiap langkah menyertai perjuangan demi kemaslahatan orang
banyak. Kalau tidak, sudah pasti, pohon-pohon di hutan sekitar Boki Manuru
dibabat habis. (*)