Diskursus Pendidikan dalam Situasi Pandemi Covid-19

![]() |
Ilusrasi anak sekolah |
Pendidikan merupakan instrumen
manusia untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusiawi. Kalimat yang santer
disebut milik Paulo Freire ini memiliki peran penting dalam hubungan dialektika
masyarakat.
Sejauh
mana Masyarakat itu bisa berkembang tergantung metode pendidikan yang di
bangun. Di dalam pendidikan tidak menghegemonikan klas antara miskin dan kaya, tua dan muda, dan atau kulit hitam maupun
putih. Di indonesia sendiri, hak mendapat pendidikan jelas dimuat dalam Pasal
31 ayat (1) UUD 1954, “Setiap Warga
negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Ini adalah tanggungjawab pemerintah ataupun negara dalam kemajuan bangsa. Akan
tetapi bagaimana kalau hukumnya berbanding kontradiktif dengan objektif hari
ini.
Angka partisipatif
pendidikan di Indonesia meningkat tiap tahunnya, disisi lain total jumlah anak
yang tidak mendapatkan pendidikan di 34 provinsi masih berada di kisaran 4,5 juta
anak. Menurut studi yang dilakukan Yayasan
Sayangi Tunas Cilik (STC), ada berbagai alasan yang mendasari kondisi tidak mendapatkan
pendidikan anak Indonesia. Dua penyebab terbesar adalah kemiskinan dan
pernikahan dini.
Covid-19 (Corona Virus Disease) sudah menjadi wabah wunia
berawal dari China dan sampai ke Indonesia sejak kurang lebih Februari lalu dan
sampai hari ini, 5 Juli 2020. Terus menigkatnya jumlah orang tertular positif
Covid-19 berimbas pada kebijakan-kebijakan negara sampai ke tingkat daerah
untuk pembatasan akses. Pandemi ini juga melahirkan berbagai macam analisis
dari cendekia-cendekia dunia, kebijakan-kebijakan pemerintah dengan dalil
kesehatan itulah mengancam elektabilitas dalam sektor pendidikan.
Ekonomi menjadi basis struktur dalam hubungan kemasyarakatan.
Menurut Siche (2020), terdapat tiga kelompok yang paling rentan terdampak dari
wabah COVID-19, yaitu; orang miskin, petani, dan anak-anak. Rata-rata mayoritas
masyarakat Indonesia bekerja sebagai kaum miskin kota (baca: Buruh ) dan terbesarnya
adalah kaum miskin desa (Baca: petani).
Kondisi riil hari ini, banyak buruh di PHK dan dirumahkan.
Petani semakin merosot, mulai dari petani kelas menengah dan petani kelas bawah
yang setiap harinya hanya memenuhi standar kebutuhan untuk hidup. Rata-rata
permintaan pasar menurun ditambah dengan menurunnya komoditas petani, hal ini
sangat memengaruhi kondisi perekonomian yang notabenenya adalah keluarga
petani.
Pendidikan kali ini jauh berbeda dengan sebelumnya. Dengan
diterapkannya sistem kuliah daring yang
dimulai dari Maret 2020 bisa dibilang akan berdampak pada indikator-indikator pencapaian
mutualitas. Pelajar, mahasiswa dan para tenaga pendidik pun tidak siap dalam
menghadapi situasi ini.
Fasilitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari layak
untuk kebutuhan pelajar dan mahasiswa, sistem kuliah daring/online yang disampaikan langsung melalui press conference oleh menteri pendidikan
dan kebudayaan bahwa “pelaksanaan pembelajaran untuk tahun ajaran berikutnya di
lakukan dengan daring (dalam jaringan)” dan di keluarkannya Permendikbud Nomor
25 Tahun 2020 tentang SSOPT (Standar Satuan Operasional Perguruan Tinggi), dan pada umumnya di dalam Permendikbud
termuat soal keringanan pembiayaan semester (UKT) sebagai stimulus guna memutus
mata rantai penyebaran covid-19 dan mengurangi beban ekonomi di masa pandemi.
Yang pertama bahwa, pelajar dan mahasiswa juga korban dari situasi pandemi global ini, artinya pemerintah baik negara bahkan sampai pada daerah
bisa merespon ini terkhususnya dalam sektor pendidikan. Ketika ekonomi
masyarakat menurun, pendidikan jangan sampai menurun. Pemerintah bukannya
terfokus pada kesehatan publik semata. Kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh
negara sampai di daerah belum tersentuh soal pendidikan.
Kedua, kebijakan KEMDIKBUD dinilai tidak koheren dengan
kondisi objektif lapangan. Kampus-kampus baik itu PTN maupun PTS agar bisa
menyentuh masyarakat kelas bawah. Pendidikan dijadikan sebagai alat komersialisasi
dan intimidasi. Apabila pendidikan telah dirasuki oleh kapitalisasi maka disitulah
muncul eksploitatif terhadap generasi. Yang nantinya bisa melahirkan generasi-generasi
yang pragmatis dan berwatak noeliberalisme. (*)
M. Riski A. Karim
Penulis
==========
Penulis adalah Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Elektro
Indonesia.