Debu Batu Bara dalam Bayang-bayang “Kekerasan”
Area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tidore tampak dari depan. Foto: Olis/Cermat. |
Oleh: Taswin Mahdi | Jurnalis Media
Brindo Grup
Kritik itu
menyakitkan, tapi menyelamatkan. Pujian itu
menyenangkan, tapi menghancurkan”. (M Guhfran H. Kordi K)
Ragam tanggapan
bermunculan dari penekun profesi jurnalis setelah salah satu teman
seprofesinya, Nurkholis Limaau, dipukul oleh ponakan kandung Wakil Wali Kota Tidore
Kepulauan. Flyer bertuliskan “dipukul karena benar” pun melayang bebas di
berbagai platform media sosial sebagai bentuk kecaman dan kritik terhadap
kekerasan itu.
Redaktur cermat.co.id itu dipukul di dalam rumahnya di Rum Balibunga, Tidore Kepulauan.
Artikel berjudul “Hirup Debu Batu Bara Dapat Pahala” yang ditulisnya pada Selasa, 30
Agustus 2022 menjadi penyebab. Karya jurnalistik ini sudah dihapus dengan
alasan desakan “kekuasaan”. Nurkholis bahkan diintimidasi sekalipun sudah
berada di Polres Tidore saat membuat laporan polisi.
Keputusan Nurkholis
menarik ulang buah pikirannya itu banyak pihak tak sepakat. Memang sebuah
keputusan yang amat sulit. Namun, melalui jalan inilah Nurkholis berharap bisa
bebas dari “bayang-bayang kekerasan”. Rabu pagi, 31 Agustus 2022, sekira pukul 09.15
WIT seolah menjadi momok sekaligus mengubur dalam-dalam harapan besar Nurkholis
yang tidak mau urusannya lebih panjang.
Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Kota Ternate mencatat terdapat 20 kasus selama 2012 dan 2013.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis beragam. Mulai dari oknum kepolisian,
pendukung calon gubernur, oknum pimpinan instansi pemerintah (SKPD), masyarakat
sipil dan oknum anggota DPRD. Tingginya angka kekerasan ini semacam sinyal bagi
jurnalis di Maluku Utara harus lebih berhati-hati dan memperhatikan keamanan
dan keselamatan saat meliput, terutama mengorek isu-isu yang boleh dikatakan
mengganggu “kekuasaan”.
UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers seolah tidak lagi menjadi “rumah” untuk berlindung. Tingginya
angka kekerasan yang tak linier dengan proses hukum seolah melemahkan payung
hukum yang melindungi Pers ini.
Setiap pemimpin
daerah punya cara dan citranya masing-masing. Pemimpin tidak lepas dari yang
namanya tanggung jawab dan kepercayaan. Dalam Agama Shinto di Jepang, pemimpin
atau kaisar merupakan manifestasi Tuhan di bumi. Pemimpin harus tahu kapan
bersikap sabar dan kapan harus bersikap tegas. Harus mampu mengubah gaya
kepemimpinannya dalam setiap kondisi dan situasi.
Memang bukan
pekerjaan mudah menjadi seorang pemimpin. Tidak sekadar memimpin atau
memerintahkan, tetapi juga harus menanggung semua risiko yang mungkin menimpa
rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin tidak boleh anti kritik.
Namun demikian,
seorang pemimpin juga manusia biasa yang tak lepas dari salah dan khilaf.
Sepahit apa pun kritik, ia adalah obat. Pemimpin yang anti kritik tidak boleh
dibantah. Apa yang menurutnya benar harus diikuti. Pemimpin yang anti kritik
selalu menganggap keputusan/kebijakannya sudah paling benar, tidak perlu
dikritisi. Baginya, kritik bukan jalan keluar atau sebuah tawaran solusi yang
perlu dipikirkan. Omong kosong dengan semua itu.
Peristiwa yang
dialami Nurkholis mengundang pihak eksternal (publik) kemudian menilai bahwa
tindakan tersebut menggambarkan pemerintahan di Tidore saat ini dipimpin oleh
orang-orang yang antikritik, minim argumen dan lebih memilih cara-cara
“premanisme” untuk menyelesaikan masalah. Seperti kata Bambang Udoyono dalam
tulisannya berjudul “Buruk Muka Cermin Dibelah”.
Kita harus meniru
sikap Ki Narto Sabdo, seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris
dari Jawa Tengah. Ki Narto menegasi bahwa kritik dan saran harus diterima
dengan lapang dada dan senang hati. Sejatinya kritik dan saran merupakan masukan
berharga. Masukan itu justru akan meninggikan kita, bukan merendahkan. Masukan
itu memperbaiki kita.
Kejadian yang
dialami Nukholis sudah tentu akan menimpa jurnalis lain apabila berani mengorek
isu debu batu bara. Dipukul. Bahkan mungkin lebih dari itu.
Pemimpin yang
dikuasai egonya akan lebih mudah tersinggung dan menganggap kritik atau koreksi
sebagai serangan kepada pribadinya jika seseorang mengkritiknya. Pola pikir
pemimpin yang egois akan lebih suka cara-cara di luar akal sehat daripada memilih
bertemu dan bicara baik-baik, sebagai bentuk sikap demokratis.
Pernyataan “aku
lebih takut pada empat surat kabar yang terbit dari Paris, daripada seratus
serdadu dengan senapan terhunus” dari Napoleon Bonaparte seakan memberi
penegasan bahwa persuasi dan pengaruh pers tidak boleh diremehkan.
Panglima perang Perancis ini tahu betul “peluru-peluru” yang ditembakkan
wartawan lebih berbahaya dan memiliki daya ledak lebih kuat dari pada bom atom
yang menghancurkan Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada 1945 silam.
Kata-kata yang membentuk kalimat lebih dasyat jika dibandingkan dengan granat
atau timah panas mengenai badan. (**)