![]() |
PENULIS: HASRUL BUAMONA, S.H., M.H. (Advokat-Konsultan Hukum Kesehatan Direktur LPBH NU Kota Yogyakarta) |
Perlu diketahui bahwa penulisan ini merupakan bagian dari penyampaian penulis sebagai narasumber dalam diskusi publik
yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa
Anti Kartel pada 19 Desember 2019 di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, dengan tema diskusi
“Kemenkesdan BPOM Berebut Kuasa Soal Ijin Edar:
Dampaknya Terhadap Industri Farmasi dan Jamu Tradisional”,
yang di hadiri juga oleh BPOM
RI Riska Andalucia, GP Jamu Charles Sarengan dan Wakil Ketua Umum Kadin
Mufti Mubarok.
Dalam pengkajian penulis,
polemic saling rebut ijin edar obat bias terjadi dikarenakan dalam
UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
(UU Kesehatan) dan Peraturan Presiden Nomor
80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat Dan Makanan (Perpres BPOM), member peluang untuk Kementerian Kesehatan mengambil wewenang ijin edar obat dari
BPOM, dan pada sisi lain
dari aturan hukum
di atas, juga telah melemahkan kedudukan hukum
BPOM dalam melaksanakan wewenangnya terkait ijin edar obat.
Secara hokum ada 2
(dua) peraturan perundang-undangan
yang menjadi fokus, sekaligus penyebab lahirnya polemic saling
rebut ijin edar obat. Pertama, apabila kembali melihat Pasal
98 ayat (3) UU Kesehatan yang berbunyi “Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.”.
Kedua, melihat juga Pasal 1 ayat (2) Perpres BPOM yang berbunyi “BPOM berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.”.
Menurut penulis,
Pasal 98 ayat (3) UU Kesehatan telah membuka peluang menteri kesehatan untuk menafsirkan pasal tersebut secara bebas. Dikarenakan pasal tersebut, memang
multi tafsir dan ambigu serta melahirkan konflik antar lembaga pemerintah. Norma
“pengedaran sediaan farmasi
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah” adalah salah satu penyebab Kemenkes ingin mengambil alih ijin edar obat dari
BPOM, dikarenakan Kemenkes dapat dengan bebas menfasirkan bahwa ketika pengedaran sediaan farmasi
di aturdalam UU kesehatan, yang ketetapannya melalui peraturan pemerintah (PP),
yang dalam hal ini kementerian kesehatan merupakan pembantu presiden dalam menjalankan fungsi eksekutif pelayanan kesehatan. Maka secara
mutatis mutandis lemenkes sepenuhnya mengganggap ijin edar obat menjadi kewenangan Kementerian kesehatan.
Permasalahan selanjutnya ketika BPOM
bertanggungjawab kepada presiden namun harus melalui kementerian kesehatan, terlihat kewenangan
BPOM sejak awal memang telah
di ‘amputasi’ oleh PP yang
mengatur BPOM itu sendiri. Seharusnya
BPOM bertanggungjawab secara langsung kepada presiden,
tanpa harus melalui kementerian kesehatan. Faktanya hari ini kemenkes sangat superioritas, karena kapan
pun kementerian kesehatan dapat mengambil ijin edar obat dari
BPOM.
Secara khusus terkait ijin edar obat dan makanan,
ada 3 (tiga) solusi
yang ingin penulis sampaikan.
Pertama, menurut penulis dari norma Pasal 98 ayat (3) diatas, dan/atau pasal-pasal lain dalam UU Kesehatan yang berpotensi merugikan BPOM, sehingga membuka peluang bagi BPOM sebagai pihak yang dirugikan secara konstitusional untuk melakukan judicial review di mahkamah konstitusi. Menurut penulis, BPOM memiliki legal standing, dikarenakan BPOM adalah badan hokum public hal ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Perpres No 80 Tahun 2017 yang berbunyi “Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintaha di bidang pengawasan obat dan makanan”. Ini adalah solusi jangka pendek yang bertujuan member jaminan kepastian hokum kepada BPOM.
Pertama, menurut penulis dari norma Pasal 98 ayat (3) diatas, dan/atau pasal-pasal lain dalam UU Kesehatan yang berpotensi merugikan BPOM, sehingga membuka peluang bagi BPOM sebagai pihak yang dirugikan secara konstitusional untuk melakukan judicial review di mahkamah konstitusi. Menurut penulis, BPOM memiliki legal standing, dikarenakan BPOM adalah badan hokum public hal ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Perpres No 80 Tahun 2017 yang berbunyi “Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintaha di bidang pengawasan obat dan makanan”. Ini adalah solusi jangka pendek yang bertujuan member jaminan kepastian hokum kepada BPOM.
Kedua, UU
Kesehatan perlu di ganti dengan
UU Kesehatan yang baru. Dimana harus memperjelas kewenangan ijin edar obat tersebut tetap menjadi kewenangan
BPOM dan kemudian BPOM harus disebut secara jelas dalam
UU Kesehatan yang baru sebagai lembaga pemerintah
non kementerian yang bertanggungjawab secara langsung kepada presiden
yang hanya bergerak
di bidang pengawasan, penindakan, dan berhak mengeluarkan ijin edar obat dan makanan.
Ketiga, melanjut kansolusi
di atas, maka sangat penting untuk kedudukan
BPOM harus diatur dengan undang-undang,
dikarenakan secara politik hokum kedudukan perpres hanya dibawah undang-undang sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
sehingga hal ini sangat berpengaruh pada kinerja
BPOM, mulai dari pemberian ijin edar, pengawasan obat dan makanan sampai pada penindakan terhadap pelanggaran obat dan makanan.
Beban kerja
BPOM yang harus melayani seluruh wilayah
Indonesia yang tidak hanya berpulau-pulau,
namun memiliki kendala dan masalah kesehatan
yang berbeda-beda, haruslah didukung dengan pranata hukum
yang kuat yakni undang-undang bukan perpres. Kehadiran
BPOM sebenarnya sudah tepat,
dikarenakan telah banyak membantu kemenkes dalam pekerjaan teknis manajemen, pengawasan produksi obat dan makanan dan bahkan melakukan tindakan hokum. Maka alangkah baiknya Presiden dan
DPR-RI harus membuat
UU Kesehatan yang baru, yang sudah tentu harus saling mendukung dan bersinergi untuk memperkuat kewenangan BPOM. [**]
*) Opini
kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab
redaksi brindonews.com.